Nelayan Indonesia Gugat Raksasa Tuna AS Terkait Dugaan Perbudakan Modern

Posted by : amvi 28/03/2025

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Empat nelayan Indonesia, Akhmad, Angga, Muhammad Sahrudin, dan Muhammad Syafi’i, mengajukan gugatan hukum terhadap Bumble Bee Foods, perusahaan tuna kalengan asal Amerika Serikat, di Pengadilan Federal California pada 12 Maret 2025. Gugatan ini menandai kasus pertama di AS yang menargetkan perusahaan makanan laut atas dugaan perbudakan modern di kapal penangkap ikan.

Para nelayan mengklaim mengalami eksploitasi, termasuk kekerasan fisik, jeratan utang, kondisi kerja berbahaya, dan penolakan perawatan medis. Syafi’i, misalnya, mengaku mengalami luka bakar serius tanpa perawatan memadai, sementara Sahrudin melaporkan sering dipukuli kapten kapal.

Gugatan menuduh Bumble Bee Foods memperoleh keuntungan dari kerja paksa dan perdagangan manusia dengan mengimpor hasil laut yang diperoleh melalui eksploitasi tenaga kerja. Perusahaan tersebut diduga mengetahui, atau seharusnya mengetahui, kondisi tidak manusiawi yang dialami para nelayan.

Bumble Bee Foods, yang diakuisisi FCF Co. Ltd. (Taiwan) pada 2020, sebelumnya telah menghadapi tuduhan terkait kondisi kerja buruk dalam rantai pasokannya. Pada tahun yang sama, pemerintah AS menghentikan impor dari kapal penangkap ikan berbasis di Taiwan yang memasok perusahaan tersebut karena laporan kerja paksa dan kondisi kerja yang abusif.

Kasus ini menyoroti maraknya perbudakan modern dalam industri perikanan global. Laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 2021 memperkirakan sekitar 128.000 orang bekerja dalam kondisi kerja paksa di sektor perikanan, meskipun angka sebenarnya mungkin lebih tinggi.

Para penggugat menuntut kompensasi atas upah yang belum dibayarkan, penderitaan yang dialami, dan perubahan sistemik dalam industri perikanan untuk mencegah eksploitasi serupa. Mereka juga menyerukan tanggung jawab perusahaan AS dalam memastikan rantai pasokan bebas dari pelanggaran HAM.

Ulasan:

Gugatan ini mengungkap realitas pahit pekerja migran di industri perikanan. Kasus ini menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam memastikan produk mereka tidak dihasilkan melalui eksploitasi. Kurangnya transparansi dan praktik seperti transshipment (pemindahan hasil tangkapan di tengah laut) membuat pekerja rentan terhadap eksploitasi. Penegakan hukum yang lebih ketat dan pengawasan efektif sangat dibutuhkan untuk melindungi hak-hak pekerja. Perusahaan besar harus bertanggung jawab atas seluruh rantai pasokan mereka. Gugatan ini diharapkan menjadi preseden bagi pekerja lain untuk menuntut keadilan, dan konsumen juga berperan penting dalam menuntut transparansi dan etika dalam produksi makanan laut. (JL/Red)

RELATED POSTS
FOLLOW US