Haidar Alwi Institute: Tuntutan BEM UI Soal Kapolri Terlalu Emosional dan Kurang Dasar Hukum

Posted by : amvi 10/09/2025

Foto anggota BEM UI/Dokumen Google

Jakarta- Seruan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) agar Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjukkan cara berpikir yang lebih condong pada emosi daripada logika.

Pandangan ini berasal dari R Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI). Sebagaimana rilis diterima oleh tim media, Rabu (10/9/2025) Menurutnya, tuntutan semacam itu, meskipun sah dalam konteks kebebasan berekspresi, mengandung kelemahan mendasar yang perlu ditinjau.

Pertama, tuntutan pencopotan Kapolri tidak memiliki argumen yang jelas, berbasis data, dan mekanisme hukum. Apakah ada pelanggaran etika atau hukum yang dilakukan oleh Kapolri yang mengharuskan presiden untuk mencopotnya?

Hingga saat ini, belum ada keputusan resmi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau badan pengawas internal yang menyatakan bahwa Kapolri telah melanggar kode etik atau menyalahgunakan jabatannya.

“Tuntutan BEM UI, yang hanya didasarkan pada asumsi moralitas tanpa dasar peraturan, berisiko menjadi agitasi politik belaka,” kata Haidar Alwi, Rabu (10 September 2025).

Kedua, saran BEM UI untuk mengganti Kapolri dengan “seseorang yang lebih kompeten dan manusiawi” terdengar retoris dan meremehkan. Kompetensi dalam kepolisian tidak dapat diukur dengan persepsi subjektif sekelompok mahasiswa, melainkan dengan kinerja institusi, indikator penegakan hukum, dan mekanisme evaluasi internal yang sah.

“Memprioritaskan slogan-slogan kemanusiaan tanpa menawarkan parameter yang ditargetkan hanya menunjukkan bahwa tuntutan tersebut kurang substansi,” kata Haidar Alwi.

Ketiga, desakan agar Kapolda yang “tidak berpihak pada rakyat” dicopot juga bermasalah. Polisi bukanlah lembaga populis yang hanya “berpihak” pada aspirasi massa, tetapi lembaga hukum yang harus berdiri di atas konstitusi dan peraturan. Polisi yang tetap netral dan tegas sering dianggap “tidak berpihak,” padahal itulah esensi dari penegakan hukum yang profesional.

“Jika berpihak pada rakyat hanya diartikan sebagai mengikuti kehendak demonstran, maka hukum akan kehilangan kepastian dan digantikan oleh aturan massa,” jelas Haidar Alwi.

Keempat, tuntutan yang berulang-ulang untuk “reformasi total kepolisian” juga harus diperiksa secara kritis. Reformasi kepolisian memang diperlukan, tetapi ini adalah proses jangka panjang yang melibatkan peningkatan struktural, budaya organisasi, dan mekanisme pengawasan. Mengganti Kapolri tanpa strategi reformasi sistemik hanya akan menjadi kosmetik belaka.

“Selain itu, reformasi kepolisian sudah diatur dalam berbagai peraturan resmi, jadi yang dibutuhkan adalah implementasi dan pengawasan, bukan hanya retorika mahasiswa di jalanan,” klarifikasi Haidar Alwi.

Tuntutan BEM UI tampak lebih seperti propaganda politik daripada analisis akademis yang mendalam. Mahasiswa seharusnya memprioritaskan data, tinjauan peraturan, dan strategi advokasi yang konstruktif, daripada hanya membuat tuntutan bombastis yang tidak terarah.

“Jika mereka benar-benar ingin mempromosikan reformasi kepolisian, jalan yang lebih terhormat adalah melalui penelitian akademis, proposal kebijakan publik, dan kolaborasi dengan badan pengawas resmi. Dengan cara ini, suara mahasiswa tidak hanya akan menjadi teriakan sesaat, tetapi akan memberikan kontribusi nyata bagi demokrasi dan supremasi hukum,” pungkas Haidar Alwi. (Jalal dan TIM)

RELATED POSTS
FOLLOW US