Jakarta, Laporan – Tim investigasi independen menyatakan adanya dugaan kesalahan nyata dalam proses hukum yang menimpa dr. Tunggul P. Sihombing MHA, khususnya pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Kesalahan ini dinilai berpotensi mengabaikan prinsip kriminalisasi hukum dan melanggar hak asasi manusia.
Berikut ulasan yang diterima hari ini, Kamis (14/8/2025)
Investigasi ini merujuk pada amanat Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, dan peraturan terkait. Tim investigasi menemukan indikasi bahwa putusan hakim agung tidak memenuhi kriteria lengkap, benar, adil, profesional, dan tidak tercela, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24A UUD 1945, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 184, Pasal 197 ayat (1, 2, dan 3), Pasal 253 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta Pasal 30 dan 50 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Fokus awal investigasi adalah menelaah aspek formil (administratif) dalam proses hukum yang berjalan. Data dan informasi hukum yang dihimpun redaksi menunjukkan adanya potensi kesalahan nyata, terutama pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, hingga pelaksanaan eksekusi di Rutan/Lapas UPT Kemenkumham RI terhadap dr. Tunggul P. Sihombing MHA.
Kesalahan Formil yang Teridentifikasi:
1. Peraturan Hukum Tidak Diterapkan (Error In Procedure)
- Putusan Kasasi Perkara Tipikor Nomor 53 K/Pid.Sus/2016 dan Putusan Banding Perkara TPPU Nomor 53/PID.SUS-TPK/2016/PT.DKI yang menjadi dasar eksekusi, termasuk Putusan PK Perkara Tipikor Nomor 22 PK/PID.SUS/2018, diduga tidak ditandatangani oleh hakim dan panitera pengganti.
- Putusan Banding Perkara TPPU yang telah berkekuatan hukum tetap selama lebih dari 8 tahun belum dieksekusi. Status barang bukti dan aset proyek vaksin flu burung, serta aset dr. Tunggul dan keluarga yang disita, belum jelas penggunaannya dan pertanggungjawabannya. Hal ini berpotensi menghambat peluang negara memperoleh PNBP dan hak terpidana untuk mendapatkan remisi.
Tindakan ini dinilai melanggar Pasal 197 ayat (1, 2, dan 3) dan Pasal 200 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Tony Nainggolan, Kepala Lapas Kelas I Cipinang, pada 15 Juni 2023, telah menyurati Ketua Mahkamah Agung dan instansi terkait mengenai kesalahan nyata ini. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan.
Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, serta Butir 14 dan 15 Peraturan Bersama Mahkumjapol Tahun 2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Kepala Lapas memiliki kewenangan dan kewajiban untuk melepaskan korban demi hukum.
Tim investigasi akan terus mendalami kasus ini dan mengungkap fakta-fakta lain yang relevan untuk memastikan keadilan dan penegakan hukum yang berintegritas.
(Timsus)
