BMKG Diduga Kuasai Lahan Ahli Waris Secara Ilegal, Gunakan Alat Negara untuk Kriminalisasi Warga

Posted by : amvi 12/10/2025

Oleh: Wilson Colling, S.H., M.H.| Praktisi Hukum dan Ketua Tim Hukum & Advokasi Ahli Waris

JAKARTA, WCALAWFIRM–Sengketa agraria antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan ahli waris mendiang Koh Teng Yang serta Ribut bin Rain di Pondok Betung, Tangerang Selatan, kembali menuai sorotan publik. Lembaga negara yang semestinya menjadi contoh penegakan hukum justru diduga telah menggunakan kewenangan dan fasilitas negara secara tidak proporsional untuk menguasai tanah seluas ±91.000 meter persegi yang secara sah dimiliki oleh para ahli waris.

Akar Sengketa dan Klaim Bermasalah

Sebagai kuasa hukum ahli waris, saya menegaskan bahwa tanah tersebut bukan tanah negara, melainkan tanah warisan turun-temurun dengan dasar hukum yang kuat. Kepemilikan ini dibuktikan dengan Girik C No. 786 dan No. 108 Persil 30 atas nama almarhum Koh Teng Yang dan Ribut bin Rain, yang tercatat secara administratif di Kelurahan Pondok Betung sejak lama.

BMKG mengklaim memiliki Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 1/Pondok Betung tertanggal 13 Oktober 1973 seluas 127.780 m² yang disebut diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 396 PK/Pdt/2000. Namun, dalam perkara No. 595/Pdt.G/2016/PN.Tng, BMKG secara terbuka mengakui kehilangan sertifikat tersebut. Aneh bin janggal, sertifikat baru kemudian diterbitkan oleh BPN atas nama BMKG dengan nomor SHP 00005/Pondok Betung tertanggal 8 Oktober 2003, berdasarkan Surat Ukur No. 259/Pondok Betung/2003.

Lebih mencurigakan, luas lahan dalam sertifikat baru berkurang menjadi 106.639 m², menyisakan selisih 21.141 m² tanpa penjelasan hukum yang transparan. Perubahan luas dan data pertanahan tanpa dasar hukum jelas berpotensi mengarah pada maladministrasi bahkan penyalahgunaan kewenangan dalam proses sertifikasi.

Negara Jangan Jadi Alat Kepentingan

Yang menimbulkan keprihatinan mendalam, laporan BMKG terhadap para ahli waris dilakukan menggunakan fasilitas dan dukungan aparat negara, seolah-olah warga yang memperjuangkan hak perdata dituduh menguasai “aset negara”. Tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai kriminalisasi warga sipil dan mencederai prinsip due process of law.

Padahal, ahli waris memiliki dokumen sah yang menunjukkan hak kepemilikan historis dan administratif, meliputi:

Girik C No. 786 dan No. 108 Persil 30
Surat Keterangan Lurah Pondok Betung tahun 1991
Surat Lurah Pondok Betung tertanggal 26 Juni 2024
Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama bertahun-tahun
Peta Persil historis yang menunjukkan batas-batas lahan

Dokumen tersebut tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memperlihatkan kontinuitas penguasaan tanah oleh ahli waris tanpa gangguan hingga kini.

Narasi Publik yang Menyesatkan

Di tengah perjuangan hukum para ahli waris, publik justru disuguhi pemberitaan sepihak dari BMKG yang tampil “bersinergi” dengan aparat kepolisian, khususnya Wadirreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Putu Kholis Aryana. Dalam sejumlah unggahan media sosial, kedua institusi bahkan menampilkan kebersamaan dan ucapan terima kasih atas “pengamanan aset negara”.

Pernyataan Kepala BMKG Guswanto yang menyebut sinergi ini bertujuan untuk “melindungi aset negara dan memperkuat kebijakan berbasis data ilmiah” justru menimbulkan tanda tanya: sejak kapan tanah warisan rakyat dianggap sebagai aset negara tanpa dasar hukum yang sah?

Sementara itu, AKBP Putu Kholis Aryana menegaskan pengamanan aset BMKG dilakukan dalam rangka Operasi Berantas Jaya, menindaklanjuti perintah Presiden atas keluhan masyarakat terhadap premanisme. Namun, publik layak bertanya — apakah membela hak waris sah kini dikategorikan sebagai tindakan premanisme?

Keadilan Bukan Sekadar Narasi

Hukum tidak boleh dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Negara semestinya hadir sebagai pelindung rakyat, bukan pelaku intimidasi. Tanah rakyat tidak boleh dirampas hanya karena ada klaim sepihak lembaga pemerintah yang tidak disertai bukti administratif dan yuridis yang sah.

Kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Menteri ATR/BPN, dan aparat penegak hukum untuk:

  1. Melakukan audit menyeluruh terhadap data pertanahan di Pondok Betung;
  2. Meninjau ulang penerbitan sertifikat atas nama BMKG yang berubah nomor dan luasannya;
  3. Menghentikan seluruh bentuk tekanan hukum terhadap para ahli waris yang memperjuangkan hak sah mereka.

Keadilan tidak dapat ditegakkan dengan intimidasi, dan negara tidak boleh bersembunyi di balik dalih perlindungan aset untuk menindas warga yang lemah. Negara hukum yang sejati adalah negara yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.

RELATED POSTS
FOLLOW US