
Dok. Arsip
Jakarta, AMVI 25 Februari 2025 – Serangan terhadap Markas Polres Tarakan, Kalimantan Utara, pada Minggu malam (24/2/2025) pukul 23.00 WITA, yang melibatkan sekitar 20 anggota TNI dan mengakibatkan penganiayaan terhadap anggota Polri, dikecam keras oleh SETARA Institute. Lembaga ini menyebut tindakan tersebut sebagai tindakan keji, premanisme, dan manifestasi esprit de corps yang keliru dan memalukan. Apapun motifnya, tindakan ini tidak dapat dibenarkan dan harus diproses secara hukum melalui sistem peradilan pidana umum.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, dalam siaran persnya menekankan perlunya terobosan substansial untuk mengatasi konflik berulang antara TNI dan Polri. SETARA mencatat setidaknya 37 konflik dan ketegangan antara kedua institusi tersebut antara tahun 2014-2024. Angka ini, menurut Hendardi, hanyalah puncak gunung es, karena diperkirakan masih banyak konflik yang tidak terungkap.
Hampir semua konflik di lapangan, kata Hendardi, dipicu oleh masalah-masalah yang tidak prinsipil dan tidak terkait dengan tugas kemiliteran. Persoalan pribadi, ketersinggungan, penolakan penindakan hukum sipil, kesalahpahaman, dan provokasi informasi palsu sering menjadi pemicunya. Meskipun tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran, anggota TNI yang terlibat tindak pidana umum seringkali tidak diproses sesuai dengan UU TNI, yang seharusnya menempatkan mereka di bawah peradilan umum. Supremasi anggota TNI yang tidak tunduk pada peradilan umum inilah yang menjadi salah satu penyebab utama berulangnya peristiwa serupa.
Di tingkat elit, ketegangan dipicu oleh perebutan kewenangan operasi di daerah tertentu, pemeranan yang dianggap tidak merata dalam jabatan non-militer, dan residu politik masa lalu, mengingat sejarah Polri sebagai bagian dari TNI.
Hendardi mengkritik penanganan konflik yang selama ini hanya bersifat simbolis, baik di tingkat akar rumput maupun elit. Meskipun sinergi dan kondusivitas selalu didengungkan, akar masalahnya tidak terselesaikan. SETARA Institute mendesak penanganan konflik yang substansial dan fundamental, dengan fokus pada kepatuhan pada disiplin bernegara dan berdemokrasi, serta penegakan supremasi sipil. Masing-masing institusi harus menjalankan peran sesuai dengan mandat konstitusionalnya, tanpa melampaui batas. Disiplin berdemokrasi juga perlu ditingkatkan di kalangan politisi sipil agar tidak melibatkan TNI dan Polri dalam urusan yang bukan ranah tugas dan fungsinya.
SETARA Institute berharap DPR, yang tengah merencanakan revisi UU TNI, UU Polri, UU Kejaksaan, dan RUU KUHAP, menjadikan pembelajaran dari konflik TNI-Polri sebagai pedoman. Revisi tersebut harus tetap patuh pada desain konstitusional dan ketatanegaraan, tanpa merekayasa pasal yang melampaui ketentuan UUD 1945 demi kepentingan institusi tertentu. Hal ini untuk mencegah kekacauan konstitusional dan instabilitas politik.
Laporan: Gus Sholeh
