
Jakarta, 12 April 2025 – Alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp27 triliun untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tengah berjuang melawan kerugian, bahkan terjerat dugaan korupsi, telah memicu gelombang kecaman keras dari berbagai pihak. LSM PENJARA 1, salah satu yang paling vokal, tidak hanya mengkritik, tetapi secara tegas menuduh kebijakan ini sebagai bentuk impunitas terselubung dan potensial menjadi mesin pencetak korupsi baru. Alih-alih menjadi investasi untuk pembangunan nasional, PMN ini justru dikhawatirkan akan lenyap ditelan lubang hitam kerugian yang tak pernah dipertanggungjawabkan.
Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, dalam pernyataan tegasnya hari ini, menyatakan bahwa pemberian dana triliunan rupiah kepada BUMN yang sudah terpuruk, bahkan diduga terlibat tindak pidana korupsi, merupakan tindakan yang tidak hanya ceroboh, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. “Ini bukan investasi, ini adalah penyiraman dana publik ke lubang hitam kerugian yang tak pernah dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegas Arifin. “Negara seolah-olah memberikan karpet merah bagi elite gagal yang telah menyalahgunakan amanah rakyat.”
Analisis tajam LSM PENJARA 1 mengungkap beberapa poin krusial yang mempertanyakan kebijakan PMN ini:
- Impunitas Terselubung: Pemberian PMN kepada BUMN yang merugi, termasuk yang tengah diselidiki atas dugaan korupsi, memberikan kesan bahwa pemerintah menutup mata terhadap pelanggaran hukum dan ketidakmampuan manajemen. Hal ini menciptakan impunitas yang berbahaya dan mengirimkan pesan yang salah kepada para pelaku bisnis di Indonesia.
- Ketiadaan Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pengalokasian PMN seringkali kurang transparan dan tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang efektif. Ketiadaan audit independen yang menyeluruh dan indikator kinerja yang jelas menciptakan celah bagi penyimpangan dana dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.
- Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Fiskal: Pemberian PMN tanpa penilaian kelayakan bisnis yang objektif dan perhitungan risiko yang matang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian fiskal yang diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang mengatur tentang PMN juga diabaikan.
- Lemahnya Fungsi Pengawasan: LSM PENJARA 1 juga menyoroti lemahnya fungsi Dewan Komisaris di beberapa BUMN penerima PMN. Banyak komisaris yang tidak menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal, bahkan beberapa posisi diisi oleh figur politik atau kerabat elite, yang justru berpotensi memperparah politisasi jabatan publik.
- Kegagalan Tata Kelola Korporasi: Kasus-kasus seperti PT Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), BioFarma, PT Indofarma, dan PT Hutama Karya, yang tetap menerima PMN meskipun mengalami kerugian signifikan akibat lemahnya pengendalian risiko dan kegagalan tata kelola internal, menunjukkan kegagalan sistemik dalam tata kelola BUMN.
Arifin menekankan bahwa reformasi BUMN yang substansial dan berbasis integritas sangat mendesak. Reformasi ini harus mencakup pembersihan internal dari oknum korup, penegakan hukum yang transparan dan setara, penerapan sistem pengawasan yang mandiri dan profesional, serta penempatan pejabat berdasarkan kapabilitas, bukan afiliasi politik.
“Setiap rupiah dalam APBN adalah amanah konstitusional yang harus digunakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” pungkas Arifin. “Tidak boleh dijadikan alat tukar politik, apalagi perlindungan bagi manajemen yang lalai. Jika pembiaran ini terus berlanjut, maka bukan hanya anggaran yang terkuras, melainkan juga kepercayaan publik terhadap negara.” Pernyataan tegas ini menunjukkan betapa seriusnya situasi ini dan menuntut tindakan nyata dari pemerintah untuk menyelamatkan dana negara dan memulihkan kepercayaan publik. (RTS)
