Polemik “Suku Kata Batak”: Antara Identitas, Politik, dan Intoleransi

Posted by : amvi 16/02/2025

Arsip Khusus

Toba, 16 Februari 2025 – Perdebatan seputar istilah “Suku Kata Batak” kembali memanas, sebuah isu yang telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan sebelum masa kolonial. Perdebatan ini bukan hanya sekadar perselisihan semantik, tetapi telah bermetamorfosis menjadi isu yang berpotensi memecah belah masyarakat Batak.

Beberapa kelompok, yang diduga didalangi oleh oknum tertentu, mengklaim bahwa “Batak” hanya merujuk pada Suku Toba. Klaim ini telah memicu reaksi keras dari suku-suku lain di wilayah Batak, seperti Karo, Mandailing, dan Pakpak. Motif di balik pemantik perdebatan ini masih belum jelas, namun dampaknya sudah terasa. Pertikaian antar-individu bahkan telah berujung pada tindakan kriminalisasi, khususnya antara oknum Suku Toba dan Suku Pakpak.

Lebih jauh lagi, kebencian ini telah memicu aksi vandalisme. Terdapat laporan tentang penghapusan stiker bertuliskan “Horas” (selamat) dan “Selamat Datang Muliate” di minimarket-minimarket. Fenomena ini mirip dengan kasus pelarangan label “Padang” di restoran-restoran milik non-etnis Minangkabau yang pernah viral beberapa waktu lalu. Hingga saat ini, belum ada penyelidikan resmi yang dilakukan untuk mengungkap penyebab dan aktor di balik kebencian terhadap istilah “Suku Kata Batak.”

Keanehan lain muncul dari upaya untuk mengidentikkan “Suku Kata Batak” dengan “Suku Kata Tapanuli” dan “Etnis Toba.” Ironisnya, “Suku Tapanuli,” yang mencakup etnis Angkola, Mandailing, Natal, dan Melayu Pesisir (umumnya beragama Islam), tidak mendapat sorotan yang sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik perdebatan tersebut.

Situasi semakin rumit dengan munculnya dramatisasi anti-etnis di antara Suku Pakpak-Dairi dan Suku Toba, padahal kedua suku ini dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan disebut sebagai “Suku Daito” (Dairi-Pakpak-Toba).

Secara etimologis, perlu ditegaskan bahwa kata “Batak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak diartikan sebagai identitas etnis. Kata “Batak” sebagai kata benda berarti “pengembara,” sementara “membatak” sebagai kata kerja berarti “berpetualang.” Hal ini sesuai dengan karakteristik Suku Toba yang dikenal sebagai perantau sukses di berbagai penjuru dunia.

Sementara itu, “Suku Kata Toba,” menurut Kamus Bahasa Batak-Indonesia, dulunya merujuk pada danau (Toba) dan aktivitas memancing di danau tersebut. Namun, makna asli tersebut kini telah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Saat ini, istilah “Suku Toba” lebih merujuk pada identitas etnis dan budaya masyarakat yang mendiami wilayah Danau Toba, danau air tawar terbesar di Asia Tenggara.

Belum ada kepastian mengenai penyebab utama permusuhan terhadap istilah “Suku Kata Batak” dan “Suku Toba.” Apakah ini disebabkan oleh politisasi istilah “Batak” sebagai nama merek gereja di beberapa suku, dominasi Suku Toba dalam politik dan ekonomi, atau bahkan hasil penelitian Barat yang mengaitkan Batak dengan keturunan Raja Batak Maharaja Toba dan Diaspora Israel? Pertanyaan-pertanyaan ini masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Sebagai perbandingan, etnis lain seperti Yaman, Arab, Yahudi Eskhenazi, Jamiah NU (Walabi), yang juga memiliki sejarah panjang dan pernah berinteraksi dengan kolonial Belanda, tidak pernah mengalami perdebatan sepanas ini mengenai status etnis mereka.

Suku Toba sendiri memiliki sejarah panjang sebagai korban politik, bahkan pernah mengalami upaya genosida pada masa lalu. Trauma sejarah ini, yang meliputi penyerbuan Kerajaan Asoka Tamil India Selatan, Majapahit, Sriwijaya, Perang Padri, dan Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII, mungkin turut membentuk karakter mereka sebagai perantau yang tangguh dan sukses di berbagai bidang.

Mereka dikenal sebagai kelompok minoritas di Indonesia yang memiliki jumlah serjana (profesor, dokter) yang tinggi di berbagai profesi. Karakter mereka yang teguh pada iman, toleran, dan gotong royong (marsiadapari) seharusnya menjadi contoh bagi semua. Aktivitas mereka dalam membangun gereja, pendidikan, dan ekonomi di mana pun mereka berada, tanpa membeda-bedakan pekerjaan, juga patut diapresiasi.

Jika kebencian terhadap mereka muncul karena faktor keturunan, agama, atau ekonomi, itu merupakan bagian dari takdir yang harus dihadapi. Namun, perlu diwaspadai kemungkinan adanya provokasi dari gerakan radikalisme agama yang menyasar budaya dan simbol-simbol marga di berbagai suku. Kasus pembakaran gereja di Singkil, yang berada di wilayah hukum adat Suku Pakpak, menjadi contoh nyata ancaman tersebut.

Pada akhirnya, perlu diingat bahwa gereja sesungguhnya bukan sekadar bangunan megah, melainkan roh, jiwa, dan hati nurani manusia. Membangun gereja sejati tidak membutuhkan biaya besar, melainkan evanglisasi dan penginjilan yang tulus.

Kesimpulannya, “Suku Kata Batak” tidak memiliki hubungan langsung dengan gereja-gereja tertentu. Istilah “Batak” lebih tepat dipahami sebagai bahasa komunikasi politik peninggalan kolonial Belanda, bukan sebagai identitas etnis. “Batak” justru bisa menjadi bahasa pemersatu suku-suku di kawasan Danau Toba. Mari kita waspada terhadap anasir-anasir yang berusaha merusak persatuan dan lingkungan gereja serta budaya Batak. (Korando)

RELATED POSTS
FOLLOW US