Oleh: Bambang Sudarmadji
Kita semua punya teman. Teman yang baik, teman yang menyebalkan, dan teman yang… unik. Kisah ini tentang teman yang unik itu. Seorang teman yang mulutnya, seperti kata pepatah, “lebih tajam dari pisau.” Tapi, tunggu dulu, ada twist! Mulut tajam itu pernah, ehmm, “mencicipi” sedikit harta karunku.
Ingatkah kamu, kawan? Proyek besar itu, yang hampir membuat kita bangkrut karena begadang membuat presentasi? Yang akhirnya berhasil, berkat ide cemerlangku (tentu saja!) dan kerja keras kita semua? Nah, ingatkah kamu bagian di mana kita merayakan kesuksesan dengan makan malam mewah di restoran Jepang? Sushi, sashimi, sake… semuanya terasa begitu lezat, bukan? Terutama bagi kamu.
Aku masih ingat bagaimana kamu dengan semangatnya menghabiskan semua makanan, bahkan sampai memesan tambahan. Kamu bilang, “Ini untuk merayakan kerja keras kita!” Aku setuju. Kita memang bekerja keras. Dan aku senang kamu menikmati hasil kerja keras kita. Aku bahkan tidak keberatan membayar semuanya. Lagipula, teman sejati itu berbagi, bukan? Berbagi makan malam mewah, maksudku.
Tapi, setelah pesta selesai, dan kita kembali ke rutinitas kita, mulutmu yang tajam itu mulai bekerja lagi. Bisik-bisik di belakangku, komentar-komentar sinis, dan berbagai gosip yang tak berdasar. Rasanya seperti makan sushi yang enak, lalu menemukan sebutir pasir di dalamnya. Mungkin sedikit berlebihan, tapi begitulah rasanya.
Aku tahu, kita semua punya kekurangan. Aku pun punya. Mungkin aku terlalu baik hati, terlalu percaya, atau terlalu… naif. Tapi, kawan, ingatlah satu hal: mulutmu pernah merasakan nikmatnya sushi yang kubeli. Sushi itu, hasil kerja keras kita bersama. Jadi, bisakah kita sedikit lebih menghargai kerja sama kita, dan sedikit mengurangi kebiasaan menggosipkan di belakang?
Mari kita lanjutkan kerja sama kita, dengan semangat baru dan rasa saling menghargai yang lebih besar. Bagaimana kalau kita rayakan kesuksesan berikutnya dengan… makan siang sederhana? Tanpa gosip, ya? Aku traktir lagi!
