MERDEKA, TAPI DIJAJAH: IRONI DELAPAN DEKADE KEMERDEKAAN BANGSA

Posted by : amvi 03/08/2025

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Delapan puluh tahun lebih sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, bendera merah putih terus berkibar gagah di langit Nusantara, lagu kebangsaan terus dinyanyikan dengan penuh semangat, dan bangsa ini terus merayakan hari kemerdekaannya dengan gegap gempita. Namun di balik semua simbol itu, luka rakyat tak kunjung sembuh. Kemerdekaan yang seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan dan kesejahteraan, kini terasa semu.

Indonesia memang telah merdeka dari penjajah bersenjata, tetapi kini rakyat kembali dijajah—bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh segelintir elite yang haus kuasa dan rakus harta. Mereka mengenakan jas mewah, duduk di kursi empuk kekuasaan, bersandar pada jabatan dan fasilitas negara, namun lupa bahwa kekuasaan itu berasal dari mandat rakyat. Di balik rapat-rapat resmi dan retorika manis, terselubung praktik pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.

Korupsi yang dulu dianggap aib kini berjalan gagah di lorong-lorong pemerintahan. Ia tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan menjelma sebagai budaya yang merampas dana publik, menghancurkan harapan rakyat, dan membangun istana kemewahan di atas tangis anak bangsa. Proyek-proyek fiktif terus digulirkan, laporan-laporan keberhasilan penuh manipulasi disusun rapi, dan rakyat kecil hanya menjadi angka dalam laporan resmi atau objek dalam pidato-pidato yang ditulis oleh tim komunikasi politik.

“Demi rakyat kami bekerja,” kata para pejabat dengan lantang. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: harga bahan pokok terus melambung, ketimpangan sosial semakin lebar, dan hukum tajam hanya ke bawah. Rakyat kecil yang berjuang untuk hidup layak justru sering ditindas oleh aturan dan aparat, sementara para penguasa yang korup justru bebas melenggang.

Kemerdekaan sejatinya bukan sekadar memiliki tanah dan udara sendiri, tetapi juga tentang tegaknya keadilan, kesejahteraan yang merata, dan penghormatan terhadap hak-hak rakyat. Ironinya, semua itu terasa semakin jauh.

Kepada mereka yang kini duduk di singgasana kekuasaan, sejarah akan mencatat dengan tinta hitam jika mereka lupa kepada siapa mandat itu diberikan. Negeri ini pernah bebas, namun kini dijajah lagi—oleh bangsanya sendiri.

Kasihan para pejuang dan pahlawan yang rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan. Kasihan konstitusi yang seharusnya menjadi landasan tertinggi negara namun kerap dikhianati. Kasihan Pancasila yang terus dijadikan slogan tanpa pengamalan yang nyata. Dan yang paling kasihan adalah rakyat Indonesia—yang hingga hari ini, masih menunggu arti sejati dari kata “merdeka.”

RELATED POSTS
FOLLOW US